BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 27 April 2010

PARIS JET' AIME


Category:Movies
Genre: Romance
Qu'il vienne, qu'il vienne
Le temps dont on s'éprenne
(Datanglah, ya datang
Saat bercinta)

-Chanson de la Plus Haut Tour, Arthur Rimbaud-

Kata orang kota Paris adalah kota cinta. Dan kata orang lagi, cinta memaksa orang untuk menjadi penyair. Tak pelak, ketika berada di Paris seseorang bakal memiliki energi ekstra dalam mengekspresikan syair rasa cintanya. Jadi, ketika muncul “Paris Je T'Aime”, sebuah film tentang 18 kisah cinta yang terjadi di kota Paris pasti ada sejumput narasi indah yang coba diutarakan di dalamnya. Bagaimana rupa syair itu dalam bentuk gambar hidup?

“Paris Je T'Aime” berangkat dari ide klasik yang mengingatkan bahwa Paris merupakan kota cinta. Sungguh menarik, reputasi kota tua ini dipertaruhkan untuk membuat film keroyokan seolah-olah nama-nama yang diajak bersepakat jika tamsil itu benar adanya. Produser film ini merangkul sosok besar dari Hollywood tentu saja murni pertimbangan pemasaran. Keanekaragaman latar belakang ke-20 sutradara, mulai dari asal negara, hingga genre spesialisasi tentu saja menjadi nilai tambah yang unik. Bisa dibayangkan macam apa sih ungkapan cinta a la Christopher Doyle sang kamerawan dari film-filmnya Wong Kar Wai? Pasti unik. Atau cerita cinta seperti apa yang coba disodorkan Coen bersaudara, Ethan dan Joel? Mungkin jenaka.

Yang menjadi benang merah adalah semua kejadian berlangsung di seputar kota mulai dari menara Eiffel, tepian sungai Seine nauli, hingga di kompleks TPU Pere Lachaise dengan jatah masing-masing sekitar 5-6 menit. Sederetan nama besar dideretkan menjadi pendukungnya, mulai dari Nick Nolte, Juliette Binoche, William Dafoe, Natalie Portman, Gerard Depardieu dan banyak lagi. Sekali lagi, bukan nama besar itu yang menjadi jualan utama, melainkan ide ceritanya yang orisinil. Pasalnya, masing-masing segmen memiliki keunikan sendiri yang coba ditonjolkan di dalamnya.

Salah satu keunikan itu adalah soal warna. Konon, merah jambu adalah warna yang identik dengan perasaan cinta dan memang warna ini sungguh indah. Campuran warna merah dan putih ini menjadi perlambang betapa idealnya hubungan dua anak manusia itu bisa termanifestasi. Ketika cinta sudah menjadi relasi yang menyenangkan tak ayal senyumpun bakal terkulum di bibir penonton.

Sampel kisah cinta macam ini dituturkan oleh seorang bocah dalam segmen “Tour d'Eiffel”. Gaya penuangannya sungguh unik. Kata sang bocah, hubungan cinta kedua orangtuanya bermula dari kamar penjara. Kok bisa? Itulah uniknya, selanjutnya diperlihatkan sebuah kilas balik yang dilakukan oleh pemain pantomim.Ya, pantomim dalam sebuah film feature. Ternyata ulah jenakanya paralel dengan akhir cintanya, menyentuh dan penuh suka. Agak mengejutkan ketika sutradara Sylvain Chomet menyodorkan sebuah gaya yang karikatur. Segmen menara Eiffel yang notabene simbol kota Paris ternyata diwakili oleh sosok badut. Tapi itulah, cara ia menggambarkan perasaan seseorang yang sedang dilanda keriaan, selalu ada senyum dan tawa. So pasti warnanya merah jambu.

Sayangnya, cinta tak melulu penuh rona nan elok. Sesekali ia bisa kelam dan gelap nyaris tanpa asa. Sang arjuna bak menunggu Godot, harus sabar menanti sia-sia bahkan ketika sampai waktunya. Tengok saja yang terjadi pada Hassan (Seydou Borou) pemuda asal Nigeria dalam segmen “Place des Fetes” karya Oliver Schmitz. Tiba-tiba saja ia tergolek dengan luka di dada. Justru momen yang indah itu datang menghampiri menjelang sakratul mautnya. Dara yang menolongnya ternyata adalah sosok yang selalu hadir dalam impiannya. Cita-cita Hassan sederhana saja, ingin mengajak Sophie -nama sang gadis- untuk menikmati kopi bersama sambil mengungkapkan perasaan. Apa daya, ini hanya impian getir bagi seorang imigran miskin macam dia.

Kemudian, ada pula cinta yang hadir dengan warna abu-abu, sebuah wilayah yang sulit didefinisikan apakah nasibnya kian cerah atau kian kelam. Tak jelas pula, apakah penuh tangis atau tawa. Macam yang digambarkan oleh Wes Craven pada segmen “Pere Lachaise”. Bisa ditebak, spesialis pembuat film horor remaja ini pasti tak akan jauh dari langgam kesukaannya. Lokasi segmen buatannya saja sudah di kuburan. Penonton pasti bakal berpikiran yang aneh-aneh, niscaya aroma cintanya akan kelam. Begitu kira-kira. Adegan dibuka dengan dua sejoli yang sedang beradu wacana di kompleks pemakaman itu. Sang srikandi menuntut arjunanya agar lebih sensitif dan punya selera humor jika tidak lebih baik mereka putus saja. Lalu diapun berlalu. Kebetulan sang dara mengucapkan sumpahnya di depan makam penyair Oscar Wilde. Usai ditinggal buah hatinya tiba-tiba sang pria melihat arwah Oscar dan ia diberikan sedikit petuah bijak. Lantaran didorong oleh rasa cinta, sang arjuna lari mengejar pujaan hatinya. Ajaib. Sang srikandi bak menemukan kekasihnya terlahir kembali. Rayuannya sungguh mengena di benak sang dara. Amboi, Craven masih konsisten bermain-main dengan alam gaib rupanya. Bahkan ketika menguraikan cinta ia menuangkannya dengan bumbu horor, meskipun dengan kadar yang ringan.

Sampel di atas hanya sekadar gambaran kecil betapa beraneka aroma yang coba ditawarkan para sineas dalam karyanya. Masih banyak warna lain yang diperlihatkan dalam “Paris Je T'Aime”. Sebagian ada yang lebih pekat dan sebaliknya sebagian lagi ada yang lebih cair, tergantung moodnya. Bayangkan saja warna apa yang sekiranya cocok untuk cinta yang hilang, cinta yang tak kesampaian, atau cinta yang hambar-hambar saja. Jadian oke, tidakpun tetap oke.

Gaya produksi keroyokan macam begini mengingatkan kita pada film “September 11”, dimana sebelas sutradara dari berbagai belahan dunia macam Alejandro Gonzalez Inarritu, Amos Gitai, Mira Nair, Sean Penn, sampai Samira Makhmalbaf terlibat di dalamnya. Genrenya saja yang agak sedikit berbeda, “September 11” berkisah tentang drama politik, sedangkan “Paris Je T'Aime” tentang drama percintaan, tetapi masih tetap menonjolkan karakteristik yang sama. Kreatornya bebas untuk menggunakan langgam dan jalinan cerita macam apa dengan tetap mematuhi rambu-rambu yang disepakati. Kerja kolektif macam begini sungguh menarik. Perlu kekompakan dan saling pengertian tim yang intens sehingga memudahkan dalam proses pasca produksinya.

Memang tidak mudah membesut 18 cerita dengan aneka rasa. Jikalau hasil akhirnya terasa lamban, bukanlah masalah. Toh penonton diajak untuk sejenak merenung bagian cerita mana yang menjadi masalah mereka. Sekiranya tak bisa berempati barang sedikitpun pastilah ada yang salah dalam hidup mereka.

0 komentar kamu: